Silicon Valley Bank (SVB), bank kelas menengah yang memberikan pinjaman untuk perusahaan start-up sejak tahun 1980-an, kehabisan dana sehingga bank ini tak bisa dipertahankan untuk bertahan sendiri. Situasi ini mengguncang pasar global serta menyebabkan simpanan dan aset miliaran dolar AS milik perusahaan dan investor terlantar.
Setelah menjadi penopang pembiayaan perusahaan start-up di dunia, kini Silicon Valley Bank bangkrut akibat kerugian besar dalam portofolio obligasi bank. Lalu, bagaimana dampak dari bangkrutnya Silicon Valley Bank terhadap pasar keuangan di tanah air?
BANK-NYA START-UP BANGKRUT, KOK BISA?
Bank yang menyasar pendanaan untuk start-up ini didirikan tahun 1983. Meskipun relatif tidak dikenal di luar Lembah Silikon, SVB termasuk di urutan 16 bank komersial Amerika Serikat kelas kakap. FDIC (Federal Deposit Insurance Corporation) mencatat total asetnya mencapai US$ 209 miliar atau sekitar Rp 3,157 kuadriliun pada akhir tahun lalu.
Hampir 40 tahun mendanai perusahaan start-up, bangkrutnya SVB ini berawal ketika Federal Reserve mulai menaikkan suku bunga demi menaklukkan inflasi. Pergerakan garang yang dilakukan The Fed berujung pada naiknya biaya pinjaman dan melemahkan momentum saham tech yang selama ini profitabel untuk SVB. Kemudian, suku bunga tinggi juga menyapu bersih nilai obligasi jangka panjang milik SVB dan bank lain selama era suku bunga rendah dan mendekati nol. Di saat yang bersamaan, modal ventura juga mulai kering dan memaksa para pemula menarik dana yang dipegang Silicon Valley Bank.
Demi menopang neracanya, Silicon Valley Bank mengambil langkah jual rugi bagi banyak sekuritas, dan akan menjual saham baru senilai US$ 2,25 miliar atau hampir mencapai Rp 30 triliun. Justru, ini memantik kepanikan bagi para perusahaan modal ventura utama dan mulai menarik uang mereka karena khawatir dengan kondisi bank itu.
Dalam waktu cepat, saham bank mulai anjlok dan menarik saham bank lain turun berbarengan. Keesokan harinya, perdagangan saham Silicon Valley Bank dihentikan. Regulator perbankan California turun tangan lalu menutup bank, dan menempatkannya dalam kurator di bawah FDIC. Semuanya terjadi dalam kurun waktu dua hari.
In short, Silicon Valley Bank kolaps karena mengalami masalah Bank Run, alias penarikan dana besar-besaran oleh deposan SVB yaitu 42 miliar dolar AS atau senilai Rp 634 miliar hanya dalam waktu 48 jam.
Kegagalan Silicon Valley Bank datang dengan sangat cepat. Dewan Silicon Valley Bank sedang mencari cara untuk meningkatkan modal atau mencari investor tambahan untuk perusahaan. Namun, perdagangan saham Silicon Valley Bank ditangguhkan sebelum pembukaan saham karena volatilitas yang ekstrim.
BEDA NASIB SVB DENGAN BANK DI INDONESIA
Kasus Silicon Valley Bank memicu kekhawatiran bahwa hal serupa akan terjadi di Indonesia, walaupun dalam beberapa waktu terakhir beberapa pihak kompak membantah kemungkinan tersebut.
Sebab, semua berpusat pada karakteristik perbankan tiap negara. Bank Indonesia menyebut kejatuhan perbankan AS disebabkan 93% deposan terkonsentrasi di satu sektor, yakni startup dan fintech. Karena hanya terkonsentrasi pada sektor tertentu, sangat rentan bila terjadi gejolak karena tak ada lagi sektor lain yang menopang.
Berbeda dengan karakteristik perbankan di Indonesia. Struktur deposan perbankan Indonesia tersebar di berbagai sektor, memastikan ketahanan industri tanpa ketergantungan pada sektor tertentu.
Selain itu, lain hal dengan Silicon Valley Bank dan perbankan di Amerika Serikat, bank-bank di Indonesia tidak memiliki keterpaparan terhadap aset-aset digital. Mereka pun tidak memberikan kredit dan investasi kepada perusahaan start-up maupun aset kripto yang saat ini sedang mengalami gejolak.
Perbankan Indonesia diperkirakan tidak terdampak langsung oleh penutupan Silicon Valley Bank karena tidak memiliki hubungan bisnis atau investasi.
BERKACA DARI KOLAPSNYA SILICON VALLEY BANK
Kini, First Citizen Bank—berbasis di Raleigh, Carolina Utara, AS—resmi mengakuisisi sebagian besar bisnis Silicon Valley Bank yang kolaps. Sekitar 17 bekas cabang SVB akan mulai beroperasi sebagai “SVB, sebuah divisi dari First Citizen Bank.” Selain itu, bank ini juga menandatangani perjanjian dengan FDIC yang akan melindungi dari potensi kerugian atas pinjaman komersial yang dibelinya.
Setelah apa yang terjadi oleh SVB sekarang, kecil kemungkinan kasus ini terjadi di Indonesia. Setelah krisis 1998, Indonesia memperkuat perbankan dengan penguatan kelembagaan, hukum, tata kelola, dan perlindungan nasabah untuk stabilitas.
Meskipun begitu, pengaturan yang lengkap dan pengawasan saja tidak cukup untuk mencegah terjadinya bank run. Munculnya kejadian bank run tidak mudah dideteksi kapan akan terjadi, dan yang terjadi dengan SVB menunjukkan ketidakmampuan regulator dalam mencegah terjadinya bank run.
Paul Samuelson, peraih Nobel Ekonomi, pernah mengatakan, “What we know about the global financial crisis is that we don’t know.” Benar, banyak yang kita tidak tahu. Maka dari itu, kehati-hatian perlu.